Lorenzo Juara Dunia Tanpa Asisten
Joge Lorenzo sudah juara dunia MotoGP dua kali namun dia tidak memiliki
basis penggemar sebanyak Valentino Rossi atau Casey Stoner.
Banyak suara sinis terutama di kalangan penggemar balapan ini di Indonesia soal kemenangannya, ada yang bilang dia beruntung karena Dani Pedrosa terjatuh, atau dia takkan juara kalau Stoner tidak pernah absen karena cedera.
Bahkan ketika Lorenzo juara dunia MotoGP yang pertama pada 2010, ada yang bilang karena dulu Rossi cedera lama dan sempat absen beberapa seri.
Apakah benar Lorenzo tidak punya kualitas individu dan skill yang cukup untuk juara tanpa dibantu kesialan yang menimpa para rivalnya? Mari kita lihat perjalanan musim ini.
Motor Honda Lebih Bagus
Sedari awal, tim Honda memiliki motor pemenang dan ditunggangi oleh dua maestro Stoner dan Pedrosa. Honda lebih cepat dan bertenaga namun di paruh pertama musim masih bermasalah dengan getaran, sedangkan Yamaha lebih stabil namun kalah dalam top speed.
Stoner bisa memanfaatkan kelebihan Honda dengan maksimal namun gaya membalapnya yang agresif sering berakibat fatal karena masalah getaran itu. Pedrosa tampil lebih tenang namun kurang agresif untuk mendahului.
Sedangkan Lorenzo memiliki kombinasi kelebihan mereka berdua: tampil tenang di putaran-putaran awal untuk menghemat ban dan agresif di saat menentukan ketika ban motor Honda mulai aus dan masalah getaran mulai mengganggu Stoner.
Dengan modal itu, di awal musim Lorenzo bisa sering ‘mencuri' kemenangan, dikatakan demikian karena sebetulnya motornya masih kalah dari Honda.
Jadi tidak adil baginya kalau disebut beruntung dengan enam kemenangannya selama ini, yang sebagian besar diraih di paruh pertama musim 2012.
Lalu sejak di Laguna Seca, AS, pada akhir Juli, Repsol Honda mengganti motor Pedrosa dengan yang sama sekali baru, sementara Stoner mendapat mesin baru casis lama.
Motor Honda semakin meninggalkan Yamaha dan masalah Lorenzo semakin bertambah.
Dari titik inilah Lorenzo harus benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya karena Honda tampil dengan motor sempurna, tetap lebih cepat dan bertenaga seperti sebelumnya namun tanpa masalah getaran dan lebih stabil ketika di tikungan.
Pedrosa adalah yang paling banyak mengambil keuntungan dari motor baru itu dan mulai meraup kemenangan demi kemenangan, termasuk tiga kemenangan beruntun sebelum Grand Prix Australia hari Minggu (28/10).
Belum pernah dalam karirnya di MotoGP Pedrosa bisa menang tiga kali berturut-turut sebelum ini. Sedangkan untuk Stoner, cedera yang menimpanya di Laguna Seca rupanya cukup parah karena sebelumnya dia juga sering terjatuh cukup keras sehingga harus absen tiga seri.
Tanpa Asisten
Ketika Stoner tidak memberi perlawanan, masih ada Pedrosa dan motor Hondanya yang sempurna. Di awal musim Lorenzo bertarung keras dengan Stoner, dan di paruh kedua giliran Pedrosa yang melibasnya tanpa ampun.
Di luar kecelakaan Pedrosa di Misano dan Australia, belum pernah Lorenzo bisa finis di depan rivalnya itu sejak Juli.
Sebetulnya hal yang sama berlaku di setiap seri. Kalau Stoner melempem, Pedrosa yang melawan, dan sebaliknya.
Lalu di mana bantuan untuk Lorenzo? Jangankan bantuan, rekan setimnya Ben Spies bersaing di empat besar pun tidak bisa, bahkan selalu kalah dari pembalap tim satelit Tech 3 Yamaha, Andrea Dovisiozo dan Cal Crutchlow.
Alih-alih mengganggu Stoner atau Pedrosa, kalau tidak terjatuh atau keluar trek, Spies hanya mampu melihat knalpot Tech 3 sementara rekannya dan duo Honda jauh tak kelihatan di depan.
Tidak Jatuh adalah Bagian Dari Skill
Soal peruntungan Lorenzo yang dibantu kecelakaan para rivalnya, dalam satu sudut pandang sempit hal itu benar, namun dari perspektif satu musim penuh itu bukan saja keliru, namun juga tidak fair buat Lorenzo.
Salah satu kunci kemenangannya adalah tampil konsisten dan menjaga diri, karena dia – dan juga Stoner dan Pedrosa – tahu benar bahwa satu kecelakaan bisa membawa perubahan besar di klasemen.
Faktanya sampai seri ke-17 di Australia, Lorenzo hanya sekali jatuh di Grand Prix Belanda, itu pun karena ditabrak dari belakang oleh pembalap lain, bukan karena kesalahan sendiri.
Dan dia tahu persis akibatnya. Sebelum balapan di Sirkuit Assen itu, dia unggul 25 poin dari peringkat dua Stoner, dan usai balapan yang dimenangi si pembalap Honda, nilai mereka berdua sama atau keunggulannya lenyap dari 25 menjadi nol!
Karena itu menjaga agar tidak terjatuh adalah bagian dari skill. Baru dikatakan sial kalau kecelakaan yang terjadi akibat kesalahan orang lain.
Faktanya, setiap kali Stoner tejatuh atau keluar trek musim ini, semua akibat kesalahan sendiri. Sedangkan Pedrosa satu kali sial ditabrak di Misano dan kecelakaan berikutnya di Australia yang paling fatal karena mengeliminir peluangnya menjadi juara dunia adalah akibat kesalahan sendiri.
Jadi Lorenzo bukan beruntung, tapi membuat kesalahan lebih sedikit dari para rivalnya. Dengan kata lain Lorenzo lebih punya skill untuk membalap dengan tenang, sabar dan tidak grogi, sikap mental yang hanya dimiliki seorang juara.
Menang Meskipun Dikeroyok
Tim Repsol Honda punya motor lebih baik dan dua pembalap papan atas, sementara Yamaha kurang cepat dan hanya punya satu andalan.
Dari 17 seri yang sudah berlangsung sampai hari ini, skornya adalah Honda 11 Yamaha 6.
Faktanya, terlepas dari dominasi itu tak pernah Honda bisa finis 1 dan 2 kecuali di Belanda saat Lorenzo jatuh. Di 16 seri lainnya, kalau Stoner juara, Lorenzo di tempat kedua, kalau Pedrosa yang juara, Lorenzo di tempat kedua. Kalau mereka berdua gagal juara, maka Lorenzo yang menang.
Dengan konsistensi yang demikian hebat ini di bawah gempuran dua maestro dan motor Honda yang sangat handal, masihkan kita sebut Lorenzo beruntung?
Lorenzo menjadi juara dunia di Australia karena di balapan itu Pedrosa jatuh. Jadi dia memang diuntungkan oleh kecelakaan rivalnya.
Namun mari kita lihat dari perspektif satu musim. Pedrosa harus menyerang dan tampil melewati batas kemampuannya karena dia tertinggal 23 poin dan hanya ada dua seri tersisa. Tekanannya begitu besar, harus juara, dan dalam kondisi itu kesalahan gampang terjadi.
Seandainya Pedrosa mampu lebih awal memenangi banyak seri, dia yang akan memimpin klasemen di Australia dan tekanannya tidak sebesar hari Minggu kemarin.
Namun Lorenzo yang tampil konsisten sejak awal sehingga dia hanya perlu membalap dengan defensif di babak-babak penentuan, tak perlu ofensif dan agresif yang bisa membahayakan diri sendiri.
Bahkan kalau Pedrosa juara di Australia dan Lorenzo di tempat ketiga, kartu as masih dipegang si pembalap Yamaha. Jika hasil yang sama terulang di seri terakhir di Valencia, tetap saja Lorenzo yang juara dunia.
Lorenzo hanya butuh juara ketiga di Australia dan Valencia untuk menjadi juara dunia dan melihat konsistensinya selama ini, itu bukan hal yang sulit.
Jadi lagi-lagi, kata beruntung tidak tepat dalam konteks keseluruhan musim.
Ada Juara Yang Beruntung, Tapi Bukan Lorenzo
Kalau bisa disimpulkan, Lorenzo juara dunia karena dia pembalap hebat. Dia bisa juara dengan motor yang kalah kencang dari Honda, dikeroyok dua rival yang setara dan tanpa bantuan sama sekali dari rekan setim.
Tidak ada seri sampai saat ini di mana dia bisa ditaklukkan oleh Stoner dan Pedrosa sekaligus kecuali saat terjatuh di Assen, karena hasil terburuk Lorenzo selain itu adalah juara dua.
Dia juara dunia karena paling sedikit membuat kesalahan dibandingkan Stoner atau Pedrosa dan bisa menang enam kali sama seperti Pedrosa.
Tapi bukan berarti keberuntungan tidak memainkan peran di kompetisi mana pun, termasuk MotoGP.
Musim 2006, Nicky Hayden menjadi juara dunia meskipun hanya dua kali juara seri, karena rival utamanya Valentino Rossi gagal finis tiga kali.
Rossi sendiri memenangi lima seri musim itu namun gagal karena di seri terakhir di Valencia terjatuh dan hanya bisa finis ke-13.
Kalau seorang pembalap bisa juara dunia hanya dengan memenangi dua seri, atau tak sampai separuh dari jumlah kemenangan yang direbut si juara dua, baru itu bisa dikatakan beruntung.
Tapi jelas ini bukan kasus yang terjadi musim ini. Keberuntungan saja tak akan bisa mengantar seorang pembalap menjadi juara dunia dua kali.
Banyak suara sinis terutama di kalangan penggemar balapan ini di Indonesia soal kemenangannya, ada yang bilang dia beruntung karena Dani Pedrosa terjatuh, atau dia takkan juara kalau Stoner tidak pernah absen karena cedera.
Bahkan ketika Lorenzo juara dunia MotoGP yang pertama pada 2010, ada yang bilang karena dulu Rossi cedera lama dan sempat absen beberapa seri.
Apakah benar Lorenzo tidak punya kualitas individu dan skill yang cukup untuk juara tanpa dibantu kesialan yang menimpa para rivalnya? Mari kita lihat perjalanan musim ini.
Motor Honda Lebih Bagus
Sedari awal, tim Honda memiliki motor pemenang dan ditunggangi oleh dua maestro Stoner dan Pedrosa. Honda lebih cepat dan bertenaga namun di paruh pertama musim masih bermasalah dengan getaran, sedangkan Yamaha lebih stabil namun kalah dalam top speed.
Stoner bisa memanfaatkan kelebihan Honda dengan maksimal namun gaya membalapnya yang agresif sering berakibat fatal karena masalah getaran itu. Pedrosa tampil lebih tenang namun kurang agresif untuk mendahului.
Sedangkan Lorenzo memiliki kombinasi kelebihan mereka berdua: tampil tenang di putaran-putaran awal untuk menghemat ban dan agresif di saat menentukan ketika ban motor Honda mulai aus dan masalah getaran mulai mengganggu Stoner.
Dengan modal itu, di awal musim Lorenzo bisa sering ‘mencuri' kemenangan, dikatakan demikian karena sebetulnya motornya masih kalah dari Honda.
Jadi tidak adil baginya kalau disebut beruntung dengan enam kemenangannya selama ini, yang sebagian besar diraih di paruh pertama musim 2012.
Lalu sejak di Laguna Seca, AS, pada akhir Juli, Repsol Honda mengganti motor Pedrosa dengan yang sama sekali baru, sementara Stoner mendapat mesin baru casis lama.
Motor Honda semakin meninggalkan Yamaha dan masalah Lorenzo semakin bertambah.
Dari titik inilah Lorenzo harus benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya karena Honda tampil dengan motor sempurna, tetap lebih cepat dan bertenaga seperti sebelumnya namun tanpa masalah getaran dan lebih stabil ketika di tikungan.
Pedrosa adalah yang paling banyak mengambil keuntungan dari motor baru itu dan mulai meraup kemenangan demi kemenangan, termasuk tiga kemenangan beruntun sebelum Grand Prix Australia hari Minggu (28/10).
Belum pernah dalam karirnya di MotoGP Pedrosa bisa menang tiga kali berturut-turut sebelum ini. Sedangkan untuk Stoner, cedera yang menimpanya di Laguna Seca rupanya cukup parah karena sebelumnya dia juga sering terjatuh cukup keras sehingga harus absen tiga seri.
Tanpa Asisten
Ketika Stoner tidak memberi perlawanan, masih ada Pedrosa dan motor Hondanya yang sempurna. Di awal musim Lorenzo bertarung keras dengan Stoner, dan di paruh kedua giliran Pedrosa yang melibasnya tanpa ampun.
Di luar kecelakaan Pedrosa di Misano dan Australia, belum pernah Lorenzo bisa finis di depan rivalnya itu sejak Juli.
Sebetulnya hal yang sama berlaku di setiap seri. Kalau Stoner melempem, Pedrosa yang melawan, dan sebaliknya.
Lalu di mana bantuan untuk Lorenzo? Jangankan bantuan, rekan setimnya Ben Spies bersaing di empat besar pun tidak bisa, bahkan selalu kalah dari pembalap tim satelit Tech 3 Yamaha, Andrea Dovisiozo dan Cal Crutchlow.
Alih-alih mengganggu Stoner atau Pedrosa, kalau tidak terjatuh atau keluar trek, Spies hanya mampu melihat knalpot Tech 3 sementara rekannya dan duo Honda jauh tak kelihatan di depan.
Tidak Jatuh adalah Bagian Dari Skill
Soal peruntungan Lorenzo yang dibantu kecelakaan para rivalnya, dalam satu sudut pandang sempit hal itu benar, namun dari perspektif satu musim penuh itu bukan saja keliru, namun juga tidak fair buat Lorenzo.
Salah satu kunci kemenangannya adalah tampil konsisten dan menjaga diri, karena dia – dan juga Stoner dan Pedrosa – tahu benar bahwa satu kecelakaan bisa membawa perubahan besar di klasemen.
Faktanya sampai seri ke-17 di Australia, Lorenzo hanya sekali jatuh di Grand Prix Belanda, itu pun karena ditabrak dari belakang oleh pembalap lain, bukan karena kesalahan sendiri.
Dan dia tahu persis akibatnya. Sebelum balapan di Sirkuit Assen itu, dia unggul 25 poin dari peringkat dua Stoner, dan usai balapan yang dimenangi si pembalap Honda, nilai mereka berdua sama atau keunggulannya lenyap dari 25 menjadi nol!
Karena itu menjaga agar tidak terjatuh adalah bagian dari skill. Baru dikatakan sial kalau kecelakaan yang terjadi akibat kesalahan orang lain.
Faktanya, setiap kali Stoner tejatuh atau keluar trek musim ini, semua akibat kesalahan sendiri. Sedangkan Pedrosa satu kali sial ditabrak di Misano dan kecelakaan berikutnya di Australia yang paling fatal karena mengeliminir peluangnya menjadi juara dunia adalah akibat kesalahan sendiri.
Jadi Lorenzo bukan beruntung, tapi membuat kesalahan lebih sedikit dari para rivalnya. Dengan kata lain Lorenzo lebih punya skill untuk membalap dengan tenang, sabar dan tidak grogi, sikap mental yang hanya dimiliki seorang juara.
Menang Meskipun Dikeroyok
Tim Repsol Honda punya motor lebih baik dan dua pembalap papan atas, sementara Yamaha kurang cepat dan hanya punya satu andalan.
Dari 17 seri yang sudah berlangsung sampai hari ini, skornya adalah Honda 11 Yamaha 6.
Faktanya, terlepas dari dominasi itu tak pernah Honda bisa finis 1 dan 2 kecuali di Belanda saat Lorenzo jatuh. Di 16 seri lainnya, kalau Stoner juara, Lorenzo di tempat kedua, kalau Pedrosa yang juara, Lorenzo di tempat kedua. Kalau mereka berdua gagal juara, maka Lorenzo yang menang.
Dengan konsistensi yang demikian hebat ini di bawah gempuran dua maestro dan motor Honda yang sangat handal, masihkan kita sebut Lorenzo beruntung?
Lorenzo menjadi juara dunia di Australia karena di balapan itu Pedrosa jatuh. Jadi dia memang diuntungkan oleh kecelakaan rivalnya.
Namun mari kita lihat dari perspektif satu musim. Pedrosa harus menyerang dan tampil melewati batas kemampuannya karena dia tertinggal 23 poin dan hanya ada dua seri tersisa. Tekanannya begitu besar, harus juara, dan dalam kondisi itu kesalahan gampang terjadi.
Seandainya Pedrosa mampu lebih awal memenangi banyak seri, dia yang akan memimpin klasemen di Australia dan tekanannya tidak sebesar hari Minggu kemarin.
Namun Lorenzo yang tampil konsisten sejak awal sehingga dia hanya perlu membalap dengan defensif di babak-babak penentuan, tak perlu ofensif dan agresif yang bisa membahayakan diri sendiri.
Bahkan kalau Pedrosa juara di Australia dan Lorenzo di tempat ketiga, kartu as masih dipegang si pembalap Yamaha. Jika hasil yang sama terulang di seri terakhir di Valencia, tetap saja Lorenzo yang juara dunia.
Lorenzo hanya butuh juara ketiga di Australia dan Valencia untuk menjadi juara dunia dan melihat konsistensinya selama ini, itu bukan hal yang sulit.
Jadi lagi-lagi, kata beruntung tidak tepat dalam konteks keseluruhan musim.
Ada Juara Yang Beruntung, Tapi Bukan Lorenzo
Kalau bisa disimpulkan, Lorenzo juara dunia karena dia pembalap hebat. Dia bisa juara dengan motor yang kalah kencang dari Honda, dikeroyok dua rival yang setara dan tanpa bantuan sama sekali dari rekan setim.
Tidak ada seri sampai saat ini di mana dia bisa ditaklukkan oleh Stoner dan Pedrosa sekaligus kecuali saat terjatuh di Assen, karena hasil terburuk Lorenzo selain itu adalah juara dua.
Dia juara dunia karena paling sedikit membuat kesalahan dibandingkan Stoner atau Pedrosa dan bisa menang enam kali sama seperti Pedrosa.
Tapi bukan berarti keberuntungan tidak memainkan peran di kompetisi mana pun, termasuk MotoGP.
Musim 2006, Nicky Hayden menjadi juara dunia meskipun hanya dua kali juara seri, karena rival utamanya Valentino Rossi gagal finis tiga kali.
Rossi sendiri memenangi lima seri musim itu namun gagal karena di seri terakhir di Valencia terjatuh dan hanya bisa finis ke-13.
Kalau seorang pembalap bisa juara dunia hanya dengan memenangi dua seri, atau tak sampai separuh dari jumlah kemenangan yang direbut si juara dua, baru itu bisa dikatakan beruntung.
Tapi jelas ini bukan kasus yang terjadi musim ini. Keberuntungan saja tak akan bisa mengantar seorang pembalap menjadi juara dunia dua kali.
beritasatu.com
Post a Comment