Header Ads

Unlimited Hosting WordPress Developer Persona

Ibarat "dongeng sebelum tidur"

Muhammad Al-Fayyadl *
Kehadiran buku The Story of Philosophy karya Bryan Magee ini menambah panjang daftar khazanah filsafat di negeri ini. Buku ini, dengan cetakan yang mewah dan kualitas gambar yang mengagumkan, menyajikan kepada kita bahwa filsafat ternyata dapat dinikmati dengan begitu menyenangkan.
Tentu saja, Magee—seorang penyiar radio, guru besar, dan jurnalis yang handal—sadar bahwa dengan itu, ia hendak “mempopulerkan” filsafat. Di tangannya, filsafat menjadi sebuah story, sebuah kisah yang mengagumkan. Sebuah kisah abadi sepanjang masa yang akan selalu mengundang rasa penasaran untuk diceritakan. Membaca buku ini, ibarat mendengar “dongeng sebelum tidur” dari seorang pencerita ulung. Magee, seperti pernah saya lihat dalam sebuah videonya, memang seorang pecinta sejati filsafat. Ia banyak bertemu dengan filsuf-filsuf kontemporer seperti A.J. Ayer dan Austin, dan bahkan berguru langsung kepada Karl Popper. Di tangan Magee, filsafat menjadi sebuah obrolan sore yang menyenangkan.
Untuk sebuah negeri dengan kultur membaca yang masih rendah seperti di negeri kita, buku Magee dapat menjadi panduan yang menarik untuk memasuki dunia filsafat. Juga, untuk generasi dengan kultur berpikir yang mulai merosot seperti di negeri kita ini, buku ini dapat menjadi pengingat, bahwa filsafat masih diperlukan, dan akan terus diperlukan.
Dua Pembacaan
Sejarah filsafat begitu panjang untuk diceritakan dalam satu atau dua buku. Buku setebal 240 halaman ini tentu tak bisa merangkum keseluruhan sejarah filsafat tanpa mereduksinya. Buku History of Western Philosophy Bertrand Russell setebal 800 lebih halaman saja bahkan masih kalah tebal dibanding kumpulan dialog Plato yang lebih dari 1200 halaman. Bagaimana mungkin merangkum sejarah pemikiran filsafat tanpa mereduksinya?
Tentu tidak mungkin. Namun, buku ini memang tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh kisah filsafat. Karya Magee ini lebih dimaksudkan untuk memetakan alur sejarah pergumulan ide dalam filsafat, dari zaman Yunani Kuno hingga zaman modern/posmodern sekarang.
Untuk membedah buku ini secara mendalam, dua paradeigma bisa dijadikan tolok ukur untuk memahami gagasan filsafat yang dijabarkan di sini. Paradeigma pertama adalah filsafat sebagai seni-hidup, atau filsafat sebagai perikehidupan, dan kedua, filsafat sebagai kritik pemikiran.
Seni-Hidup
Filsafat sebagai seni-hidup, adalah filsafat sebagai sebuah laku atau praksis kehidupan. Buku ini, dengan entusiasmenya, tampak memposisikan lebih pada paradeigma pertama ini.
Satu hal yang amat berharga dari uraian panjang Magee adalah gambaran filsafat yang memiliki karakteristik perilakunya sendiri. Filsafat ternyata bukan teori yang mengambang di atas awan, melainkan suatu praktik hidup yang melekat-erat dengan kehidupan pelakunya. Pada zaman Yunani Kuno, hal ini tercermin jelas dari sosok Sokrates (hlm. 20-23). Sokrates mencerminkan suatu titik pergeseran penting dalam pandangan-dunia masyarakat Yunani Kuno. Sebelumnya, para filsuf pra-Sokratik begitu sibuk dengan metafisika dan kosmologi. Mereka banyak bertanya tentang alam dan hakikat benda-benda. Namun, Sokrates membalik orientasi filsafat itu. Baginya, yang terpenting bukan bertanya tentang itu semua, tapi bertanya bagaimana kita hidup dengan benar. Dengan kata lain, Sokrates menggeser pertanyaan dari apa ke bagaimana.
Sejak Sokrates, kita pun sadar, filsafat ternyata bukan cuma berurusan dengan theoria, dengan apa yang kita ketahui dan persepsikan dari dunia, tapi juga dengan sophia atau “kebijaksanaan”, dengan apa yang membuat diri kita lebih baik dan bermoral.
Ada tiga nilai perikehidupan yang tercermin dari para filsuf itu, yakni “kebijaksanaan”, “cinta”, dan “ugahari”. Kebijaksanaan mencerminkan konsistensi antara pikiran dan perbuatan; cinta menggambarkan hasrat terus-menerus untuk mencari kebenaran; dan ugahari (bersahaja) identik dengan askese atau ketidakpedulian akan materi dan prestise. Ketiga hal inilah yang, tampaknya, diajarkan oleh perilaku para filsuf dalam buku ini.
Sokrates mengakhiri kehidupannya dengan minum racun jelaga karena keteguhannya untuk memegang pendapatnya—yang ditentang keras dan divonis “sesat-menyesatkan” oleh pengadilan Athena. Legenda kematian Sokrates ini menyiratkan ekspresi sungguh-sungguh, bahwa seorang intelektual tidak akan memperbudak diri pada kekuasaan, dan tidak membiarkan kekuasaan atau otoritas mana pun untuk mengintervensi pendapatnya.
Elan ini tercermin di era-era kemudian, antara lain dalam perilaku kaum Stoa, yang membolehkan bunuh diri sejauh orang dapat bertanggung jawab atas kematiannya (hlm. 47); dalam kisah Galileo yang rela dipenjara untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya di hadapan Inkuisisi (hlm.67); dalam diri Thomas Hobbes yang berani menantang Gereja saat itu dengan filsafat materialismenya (hlm.78-79); dalam diri John Locke, yang pernah diusir karena dianggap memberontak, dan akhirnya membantu terwujudnya Revolusi Inggris pada 1688 (hlm. 102); dalam Voltaire yang dipenjara di Bastille karena satir-satir politiknya (hlm.122); dalam Marx, yang sepanjang hidupnya kritis terhadap agama dan terkenal militan (hlm.164); dalam diri Nietzsche yang memegang teguh nihilisme dan akhirnya sakit jiwa (hlm.172); dalam diri Kierkegaard yang asketik dan religius (hlm. 208); dalam diri Sartre yang menolak Nobel Sastra karena pendirian kirinya (hlm. 216); dalam diri Popper yang konsisten menentang Nazisme dan menyuarakan liberalisme (hlm. 220); dan banyak lagi.
Sikap-sikap hidup itu menunjukkan bahwa filsafat adalah sebuah filosofi hidup. Mereka yang berpegang pada asumsi filosofis tertentu, akan mengamalkan hidup yang sejalan dengan filosofinya. Karena itu, seorang filsuf yang tindakannya menyimpang dari pemikirannya akan menimbulkan skandal yang memalukan dalam sejarah filsafat. Heidegger, misalnya, banyak dikecam karena pernah mendukung Nazisme lewat pemikirannya. Apakah hal itu sebuah kesengajaan, atau karena Heiddegger dimanipulasi, masih jadi tanda tanya besar.
Kebijaksanaan, cinta pada kebenaran, dan ugahari—nilai-nilai ini sudah dengan sendirinya mencerminkan pendirian filsafat yang teguh dan tak mudah takluk. Karena itu, para filsuf kadang, sebagai intelektual, harus melawan masyarakat pada zamannya, jika mereka menilai bahwa gagasan mereka benar dan patut diperjuangkan. Mereka bahkan sering kali mengambil peran sebagai pembaharu sosial dan penentang atas kebobrokan moral dan intelektual masyarakat.
Persoalannya kemudian: beranikah kita sebagai kaum intelektual melakukan hal yang sama untuk negeri ini?
Kritik Pemikiran
Selain mengungkap cita rasa hidup para filsuf—yang penting kita aktualisasikan kembali—buku ini di sisi lain juga menyuguhkan filsafat sebagai sejarah rentetan kritik. Berhasilkah Magee menampilkan kritik itu?
Mengikuti alur sejarah yang objektif dan linear, ia menampilkan pemikiran filsafat secara kronologis dari masa ke masa. Rentang yang dipilihnya berkisar dari kira-kira empat abad SM hingga abad ke-20 (tahun 1960-an). Topik yang diangkatnya juga sangat luas, dari filsafat Pra-Sokratik hingga (sedikit) menyinggung posstrukturalisme di tahun 1960-an.
Untuk sebuah buku tentang filsafat, uraian yang sedemikian panjang seperti ini tampak sudah cukup memuaskan. Namun, setiap uraian pastilah mengandung sesuatu yang tak teruraikan; sebagaimana setiap yang objektif dan linear tentu menyiratkan yang subjektif dan tak linear. Demikian pun buku ini.
Sebuah contoh, jika Magee memasukkan “Filsafat dan Kristianitas” dalam fase penting sejarah filsafat, mengapa ia tidak memasukkan “Filsafat dan Islam”? Padahal, ketika Barat mengalami kegelapan, filsafat tumbuh di dunia Islam dengan suburnya—menyelamatkan warisan filsafat Yunani (Plato-Aristotelian) hingga sampai ke tangan masyarakat Eropa lewat St. Thomas Aquinas. Kelupaan (atau pengabaian?) Magee atas kontribusi filsafat Islam secara epistemologis tampak problematik, mengingat ia, di sisi lain, menyebutkan kontribusi filsafat Hindu dan Budha bagi sejarah filsafat dunia.
Selain itu, dalam konteks kritik pemikiran, buku ini sering kali tidak menunjukkan sejauh mana sebuah pemikiran tampak problematik menurut aliran lain. Barangkali karena Magee ingin menampilkan filsafat seobjektif mungkin, ia lebih memilih diam dan tidak menonjolkan filsafat mana yang dianggapnya relevan. Ia seperti sengaja membiarkan kita sebagai memilih filsafat yang kita anggap cocok.
Padahal, jika menengok pergolakan pemikiran filsafat yang sesungguhnya, jelas filsafat begitu sarat dengan pertentangan dan bahkan permusuhan di antara berbagai alirannya. Empirisisme, misalnya, sangat kritis terhadap rasionalisme, demikian juga vitalisme (seperti dalam filsafat Nietzsche) sangat antipati—bahkan memusuhi—terhadap Hegelianisme. Pertentangan-pertentangan semacam itu terasa “(di)damai(kan)” dalam buku ini.
Namun demikian, cela(h) apa pun yang terdapat dalam buku ini tidak mengurangi pentingnya buku ini bagi perkembangan filsafat ke depan. Di tengah-tengah zaman yang begitu hiruk-pikuk dengan jargon politik yang membuai dan fasilitas hidup yang melenakan, buku ini hadir untuk kembali mengingatkan pentingnya berpikir bagi generasi kita. Filsafat dimulai dari berpikir. Dan ketika sebuah generasi mulai tidak berpikir dan terjangkit apa yang disebut Hannah Arendt sebagai “virus” thoughtlessness (“malas-berpikir”), di saat itu generasi tersebut sesungguhnya sedang bunuh diri.

No comments

Powered by Blogger.